Thursday, July 30, 2015

Mengejar Angin sampai Italia Ujung

ini lagu sedih atau apa
mulutku terbungkam
jangankan untuk bersenandung

ini lagu sedih atau apa
langit tampak mencekam
kau pergi berkelana sampai Italia ujung

ah!
rasanya tak mampu kau menoleh
bahkan untuk mengingatku sejenak

oh!
lalu apa yang kini ku peroleh
duka hati dan pizza yang tak lagi enak

Firenze, Toscana, Menara Pisa telah kau tapaki
dan aku mengejarmu sambil menahan pedih peri

jika dari awal niatmu hanya ingin pergi, tolong jangan ke mari
jika setelahnya niatmu untuk kembali, tolong jangan pergi
atau setidaknya jika ingin pergi, tolong bantu aku berdiri
agar aku tidak jatuh dan tertatih sendiri.

untuk Sang Angin,



Akhir Juli 2015

Friday, July 17, 2015

Arti namanya Angin...

Arti namamu angin......
dan mencintaimu memang benar adanya seperti mencintai angin.

Kau datang menyejukkan hati sebentar lalu pergi.
Ingin ku memelukmu tapi tak sampai.
Ingin ku genggam tanganmu, tapi semu.
Aku tak menggenggam siapapun.

Kau ada, namun seolah tiada.
Kau bahkan tak berhembus pada malam-malamku lagi.
Aku lelah.
Aku lelah berusaha untuk terus memelukmu atau menggenggammu.

Hahaha.
Kupikir seseorang mengetuk di pintu itu, ternyata hanya angin yang menggelitik.
Yang ternyata membuat lara.

Saat ini kaupun mendingin, berubah menjadi angin yang tak kukenali lagi.
Dingin, pekat, menusuk tulang.
Seolah-olah kau marah dan menampakkan sisi gelapmu.

Dan sekarang kaupun menjauh, nyaris pergi.
Pergilah bersama angin lain.
Tinggalkan aku.
Biarkan aku tak menghirup aromamu.
Biarkan aku sendiri di sini.
Menunggu matahari, bintang, atau apapun yang takkan pernah pergi lagi.
Atau menunggu seseorang yang berani dan berhak mendobrak paksa pintu itu.

Pergilah, karena aku akan baik-baik saja.

Sunday, July 12, 2015

Mimpi yang Ketiga

Pelik.
Satu keadaan yang membangunkanku pagi ini.
Entah senyum sumringah yang seharusnya kutunjukkan atau ketakutan yang kembali menyelimuti.

Seseorang diluar sana dengan beraninya mengetuk pintu itu.
Pintu yang sudah kututup rapat-rapat dan berjanji untuk takkan membukanya lagi--sampai seseorang berani dan berhak mendobraknya.
Entah berapa kali pintu itu diketuk, tapi aku berusaha untuk tidak bergeming.
Aku hanya menatapnya melalui jendela dari dalam.

Dia.
Mengapa harus dia yang dengan beraninya mengetuk pintu itu?
Aku.
Aku hanya takut.
Takut jika aku membukakan pintu untuknya maka aku akan merasakan sakit lagi.
Takut jika aku membiarkan kehadirannya dalam hidupku akan membuatku tersiksa lagi.
Walaupun secara historis dia tak pernah menyakitiku sebelumnya.

Tapi sekali lagi, kenapa harus dia?
Dia yang datang disaat aku rapuh dan rentan.
Dia yang terlalu sempurna dan mungkin dipuja banyak wanita.
Dia yang manis, dengan setiap lelucon yang dilontarkannya.
Dia yang..............ah! Kenapa aku juga turut memujanya?

Aku belum benar-benar membukakan pintu untuknya, tapi dia memaksa untuk masuk.
Tolong.
Aku hanya tak ingin patah lagi, karena serpihan ini sudah kusatukan kembali, sendiri. 
Ya--dengan beberapa bagian yang lenyap terbawa kabut kelabu.

Jika boleh kuminta 2 hal padamu, hey kau yang dengan beraninya mengetuk pintu itu,
Tolong yakinkan aku dan dobrak pintu itu.
Maka di depan pintu itu aku akan menyambutmu dengan pelukan terhangat.

Friday, July 10, 2015

A Girl in The Shoreline

Berkali-kali kuhembuskan nafas di tepi laut lepas itu.
Menatap dalam deburan ombak.
Mereka datang dan pergi.
Saat yang satu hampir pergi, yang lain datang menghampiri.
Lalu ku tanya pada Tuhan, adakah mereka yang tak pernah pergi dan akan tetap tinggal?

Senja datang, matahari mulai meredup meninggalkan cakrawala.
Tapi ia tak pernah bertanya pada langit. Apakah langit akan kesepian? 
Apakah langit akan punya bintang-bintang dan temeram bulan untuk menemani di setiap malam sepi?
Lalu aku bertanya pada Tuhan, apakah langit akan tetap menyelimutiku walau ia sedang kesepian?

Lalu aku menatapmu melangkah menjauh pantai ini, dan berhembuslah angin seolah membawamu terbang.
Pergi bagai ombak yang tak pernah tinggal.
Pergi bagai matahari yang membisu meninggalkan langit sendirian.

Jangan kasihani aku.
Biarkan aku juga meninggalkan laut ini, terhempas arus menuju kembali ke asalku.

Meninggalkan luka yang mulai mengering.
Melepas kenangan yang tak kan ku hiraukan lagi.
Karena setiap jejak yang kutinggalkan akan terhapus ombak, jadi begitu pula dengan perasaanku yang pernah kau rasakan. 
Biarkan itu juga terhapus ombak.

Tempatku berpulang nyatanya bukan pantai.