Sebuah
ketidaksengajaan yang indah.
Gadis
itu menulis surat dan berharap surat itu akan sampai kepada si penerima.
839.000
meter jauhnya.
Gadis
itu berjuang untuk sebuah pertemuan suatu saat nanti.
Teman.
Yang jauh disana itu, hanya
teman.
Hanya teman, tak lebih dari
itu.
Tapi gadis ini selalu
merindukan hadirnya.
Teman.
Sebuah
kata indah yang mempertemukan mereka dalam ketidaksengajaan.
Teman.
Sebuah
kata yang menyakitkan pula.
Sebuah
batas yang menghalangi bersatunya hati gadis itu dengan yang jauh disana.
Teman.
Hanya itukah?
Adalah
suatu omong kosong belaka bila seorang anak laki-laki dan perempuan yang
berteman tidak memiliki rasa.
Rasa.
Sebuah
rasa yang terus menerus mereka sangkal.
Bolehkah
gadis ini bermimpi akan hadirnya?
Pantaskah
gadis ini berharap akan belaian lembut anak laki-laki itu pada rambutnya?
Haruskah
gadis ini terus berharap untuk memilikinya?
Tak
adakah cara lain untuk membuat mereka bertemu walaupun hanya sejenak?
Gadis ini terus menyangkal
dan menyakiti dirinya sendiri.
Masih berkutat dengan pena
dan kertas sambil tersenyum.
Senyum yang entah kapan pasti
akan memudar.
Karena terus berharap pada
sosok maya.
Demi
menyelamatkan gadis itu dari kesakitan,
Anak
laki-laki itu tak bisa memberi banyak.
Anak
laki-laki itu tak bisa memenuhi mimpi-mimpi gadis itu.
Tak
sanggup pula ia menyusuri jajaran langit biru itu, hanya demi sebuah pertemuan.
Satu
hal yang mereka masing-masing tahu,
Sebuah
rasa telah muncul di benak mereka,
Namun
mereka lebih memilih menyangkal dan memendam;
Menyakiti
diri sendiri.